Indonesia menyangkal Vanuatu, tapi ULMWP catat 8 kasus kekerasan baru

Jayapura, Jubi – United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP menyatakan Pemerintah Indonesia tidak bisa merekayasa dan bersandiwara dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-bangsa dengan menyatakan kemarahannya kepada Pemerintah Vanuatu. ULMWP justru mencatat ada delapan pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan baru yang dialami orang Papua pada September 2020.


Direktur Eksekutif ULMWP, Markus Haluk menyatakan Pemerintah Indonesia semestinya menunjukkan niat baik saat menjawab keprihatinan Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman atas situasi hak asasi manusia (HAM) di Papua. Haluk menyatakan apa yang disampaikan Loughman dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 27 September 2020 merupakan fakta dan pergumulan orang Papua selama 57 tahun merasakan Indonesia menduduki dan menjajah Papua.

“Perlu ditegaskan bahwa isi pidato Perdana Menteri Vanuatu dalam Sidang PBB sesungguhnya menyampaikan apa yang telah diputuskan dalam komunike para pemimpin Pacifik Islands Forum pada Agustus 2019 di Tuvalu, dan komunike para pemimpin negara Afrika Caribia Pacifik pada Desember 2019 di Kenya. [Apa yang disampaikan adalah] tentang yang kami lihat dan alami,” kata Markus Haluk kepada Jubi di Kota Jayapura, Papua, Selasa (6/10/2020).

Haluk menyatakan fakta kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM di Papua bukan hanya terjadi pada masa lalu. la menyatakan pelanggaran HAM masih terus terjadi di West Papua, dan semakin memburuk sejak persekusi dan tindakan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya terjadi pada Agustus 2019. 

Menurut Haluk, menjelang dan setelah pidato Bob Loughman itu telah dan terus terjadi penembakan, pembunuhan dan pembungkaman ruang demokrasi di West Papua. Haluk mencatat sepanjang bulan September 2020 sedikitnya ada delapan kasus pelanggaran HAM dan kekerasan baru yang dialami orang Papua.

Kata dia, kasus pertama, pada 19 September 2020 terjadi penembakan yang menyebabkan Pdt Yeremias Sanambani STh meninggal dunia di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya. Keluarga korban meyakini penembakan itu dilakukan oleh prajurit TNI, meskipun hal itu telah dibantah oleh TNI.

Kasus kedua,  pada 19-20 September 2020 gabungan TNI/POLRI melakukan sweeping Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Mahasiswa terhadap para mahasiswa Papua di beberapa asrama di Sulawesi Utara. Haluk menyatakan sweeping itu terjadi antara lain di asrama mahasiswa Papua di Kota Manado, Tomohon, dan Tondano.

Ketiga, pada 21 September 2020, aparat keamanan di Manado menghadang mahasiswa Papua yang akan berunjuk rasa mendukung Petisi Rakyat Papua untuk menolak Otonomi Khusus Papua di Kantor Gubernur Sulawesi Utara. Keempat,  pada 22 September pendeta di Gereja Kemah Injil Klasis Wanggar Siloam SP 2, Pdt Alfred Degey ditemukan meninggal dengan luka di kepala.

Kelima,  pada 23 September 2020 lalu ada tujuh pemimpin aksi  unjuk rasa menolak Otsus Papua Jilid II dan mendukung Petisi Rakyat Papua di Timika ditangkap. Keenam, pada 24 September 2020 para peserta aksi ribuan warga Nabire yang menolak Otsus Papua Jilid II dan mendukung Petisi Rakyat Papua juga ditangkap.

Ketujuh, pada 25 September 2020, mahasiswa Papua di Kota Makassar, Sulawesi Selatan yang mendukung Petisi Rakyat Papua tolak Otonomi Khusus Jilid II di Makassar di kepung dan diintimidasi oleh kelompok organisasi kemasyarakatan. Kedelapan, pada 30 September 2020 aksi mahasiswa Papua di Universitas Cenderawasih dibubarkan secara paksa oleh aparat gabungan TNI/Polri, di mana empat orang mahasiswa ditangkap, dan beberapa mahasiswa lainya terluka.

“Itu fakta yang kami lihat dan alami, tetapi Pemerintah Indonesia menutupi semua itu ketika menangapi Pemerintah Vanuatu pada 27 September 2020 melalui diplomatnya di New York. Tanggapan [serupa] juga oleh [disampaikan] Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, anggota parlemen Indonesia, publik Indonesia, serta buzzer  [media sosial],” 

kata Haluk.

“Dalam tanggapan pemerintah Indonesia menyangkal fakta kejahatan kemanusiaan dan politik rasisme yang telah dipraktekan selama 57 tahun di West Papua. Beragam respon yang disampaikan oleh Pemerintah dan buzzer penguasa telah memperlihatkan wajah negara yang rasis dan merendahkan martabat orang Melanesia, secara khusus Vanuatu,” 

tegas Haluk.

Dengan membaca berbagai komentar di media sosial, maupun pernyataan para pejabat Indonesia menanggapi keprihatinan Vanuatu, Pemerintah Indonesia justru telah memperlihatkan sikap aslinya terhadap orang Melanesia. “Karena itu, jujur kami ungkapkan kepada semua pihak yang memiliki hati nurani kemanusiaan, bahwa rakyat West Papua menilai Indonesia bukan masa depan rakyat West Papua. Bersama Indonesia berarti sama dengan [membiarkan] orang Melanesia di West Papua secara perlahan akan punah dari tanah mereka,” kata Haluk.

ULMWP menyerukan supaya para Pemerintah Indonesia, para pemimpin negara Pasifik, Afrika, Karibia, dan masyarakat internasional mencari solusi yang tepat bagi rakyat West Papua, dengan memberikan hak penentuan sendiri bagi West Papua sesuai dengan mekanisme PBB. Haluk menegaskan hak setiap bangsa untuk merdeka telah diakui dalam Pembukaan Konstitusi Indonesia pada 1945.

Sebelumnya, Pdt Dr Sokratez Sofyan Yoman president Gereja-Gereja Babtis West Papua menyarankan Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan empat akar masalah Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Keempat akar masalah itu adalah kontroversi sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum diproses hukum, diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua, dan kegagalan pembangunan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

“Solusinya Pemerintah Republik Indonesia dan ULMWP duduk satu meja untuk perundingan damai tanpa syarat. [Perundingan itu harus] dimediasi pihak ketiga yang netral, untuk menemukan solusi damai yang permanen,” kata Yoman melalui keterangan pers tertulisnya pada pekan lalu.(*)


Editor: Aryo Wisanggeni G

Share on Google Plus

About Wewo Kotokay

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment