Reporter: Elisabeth Giay
Oleh Alexandre Dayant
Pada Minggu lalu, hampir 181.000 pemilih dari Kaledonia Baru, sebuah wilayah kepulauan di Pasifik yang dijajah Prancis sejak tahun 1853 dan hanya berjarak 1.500 kilometer dari pesisir Australia, menuju ke tempat pemungutan suara untuk menjawab pertanyaan apakah mereka ingin ‘Kaledonia Baru mencapai kedaulatan penuh dan merdeka’.
Ini adalah referendum kedua dari tiga plebisit untuk menentukan kemerdekaan Kaledonia Baru di bawah tahap akhir Kesepakatan Nouméa 1998, sebuah perjanjian yang mengakhiri konflik akibat aspirasi kemerdekaan orang-orang Kanak pada 1980-an. Dalam referendum pertama yang diadakan November 2018 lalu, 57% memilih untuk ‘Tidak’ merdeka dan tetap bergabung dengan Prancis, sementara 43% suara lainnya memilih ‘Ya’ untuk merdeka.
Kali ini, suara ‘Tidak’ berjumlah 53,26%, dan suara ‘Ya’ mencapai 46,74%, menurut hasil sementara yang diumumkan oleh menurut Kantor Komisaris Tinggi Republik Prancis di Nouméa. Bagi aktivis anti-kemerdekaan, hasil ini merupakan peringatan, bukan kemenangan.
Dalam pidatonya dari Istana Elysée, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyambut baik hasil ini, sementara Perdana Menteri Jean Castex, berjanji untuk ‘segera’ mempertemukan aktor-aktor politik Kaledonia Baru untuk memulai diskusi tentang langkah-langkah selanjutnya, pasca-referendum.
Terlepas dari hasil akhirnya, referendum ini dilihat sebagai kemenangan untuk sisi ‘Ya’. Persentase pendukungnya telah meningkat lebih dari tiga poin dibandingkan dengan 2018, dan selisih jumlah suara antara kedua kubu juga turun dari 18.000 menjadi 10.000 suara, hanya dalam waktu dua tahun. Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan perubahan hasil ini.
Pertama, pihak separatis semakin memperkuat posisinya, sementara perpecahan telah melemahkan kubu loyalis. Semakin giat menyusul selisih jumlah suara antara suara ‘Ya’ dan ‘Tidak’ yang lebih tipis dari yang diharapkan pada tahun 2018, separatis berhasil merebut kursi kepresidenan Kongres pada tahun 2019 – majelis legislatif Kaledonia Baru – dan berhasil meyakinkan Partai Buruh, partai kecil dalam politik lokal, agar berkampanye mendukung suara ‘Ya’ tahun ini. Dua tahun lalu Partai Buruh menganjurkan anggotanya untuk abstain.
Sementara itu, perpecahan mulai timbul di sisi pro-Prancis sehingga mereka tidak dapat mencapai titik temu dalam menyusun strategi kampanye bersama. Walaupun enam partai politik yang menentang kemerdekaan membentuk koalisi yang disebut ‘the Loyalists’ untuk mengoordinasikan upaya mereka, parpol Calédonie Ensemble – sebuah partai besar kanan moderat – menolak untuk bergabung dengan koalisi tersebut dan berkeras untuk menjalankan kampanye sendiri. Perpecahan ini juga terjadi selama pemilu tingkat provinsi Mei 2019, dan sudah pasti berperan penting dalam hasil referendum hari Minggu lalu.
Kedua, pihak separatis lebih mujur akibat naiknya jumlah partisipan secara menyeluruh dalam referendum tahun ini. Pada 2018, 19% pemilih yang memenuhi syarat memilih untuk golput. Pada tahun 2020, persentase partisipasi meningkat empat poin menjadi 85,67%, dimana jumlah peningkatan yang signifikan dilaporkan berasal dari pemilih yang sebelumnya golput sekarang mendukung kemerdekaan Kaledonia Baru. Contohnya, di Pulau Ouvéa, dimana referendum pada 2018 diboikot, 86% pemilih mendukung ‘Ya’ pada akhir pekan kemarin.
Ketiga, kampanye referendum yang sangat efektif dari sisi separatis harus diakui, terutama yang dilakukan oleh generasi muda. Bukan hanya kaum muda Kanak, tapi juga kaum muda Kaledonia Baru secara umum. Meneruskan keberhasilannya pada tahun 2018, para aktivis pro-kemerdekaan kembali menggunakan media sosial untuk menjangkau generasi muda dan membujuk mereka dengan pesan pro-kemerdekaan, sebagian diantaranya merupakan pemilih perdana.
Dan yang terakhir, minimnya keterlibatan dari pemerintah negara Prancis sejak referendum 2018 tampaknya juga memengaruhi hasil referendum kemarin. Negara Prancis berada dalam posisi yang sulit karena harus memainkan dua peran dalam proses ini, sebagai penengah dan juga pemangku kepentingan. Paris diharuskan untuk tetap netral, namun negara juga dikritik: terlalu undur diri menurut orang-orang Kaledonia Baru yang pro-Prancis, terlalu ‘berpihak’ menurut separatis (dalam referendum kali ini kubu loyalis diizinkan oleh pemerintah Prancis untuk menggunakan bendera Prancis dalam materi kampanye mereka, hal ini dilarang pada referendum 2018).
Namun di luar kritikan-kritikan itu, yang jelas adalah kurangnya komunikasi antara Paris dan Nouméa sejak penunjukan Castex sebagai Perdana Menteri Prancis yang baru awal Juli ini. Pandemi Covid-19 turut menyebabkan terbatasnya komunikasi ini, namun kurangnya perhatian politik dan media dalam referendum tahun ini sangat mencolok, yang berarti minat tokoh-tokoh politik dan jumlah media yang meliput referendum ini lebih sedikit daripada referendum pertama. Jika hal ini tidak digunakan sebagai argumen oleh pihak separatis, ini juga dapat menimbulkan kekecewaan atau penyesalan di pihak non-separatis.
Secara keseluruhan, referendum ini, yang diawasi secara langsung oleh sekitar 250 pengamat Prancis, sekelompok ahli dari PBB dan Forum Kepulauan Pasifik (PIF), kembali menunjukkan adanya kesenjangan di wilayah tersebut. Peta distribusi suara ‘Ya’ dan ‘Tidak’ mirip peta distribusi polulasi antara penduduk Kanak dan non-Kanak:
Provinsi Selatan, yang paling padat dan kaya dengan mayoritas penduduk non-Kanak, di mana ibu kota Nouméa berada, lebih banyak yang memilih ‘Tidak’ untuk merdeka (70,86%)
Provinsi Utara dan Provinsi Kepulauan Loyalitas, dengan mayoritas populasi orang pribumi Kanak, suara ‘Ya’ untuk kedaulatan Kaledonia Baru menang (masing-masing 78,35% dan 84,27%).
Apa yang akan terjadi setelah ini?
Berdasarkan Kesepakatan Nouméa, referendum ketiga dapat dilakukan pada tahun 2022, jika didukung oleh sepertiga anggota majelis lokal. Ini kemungkinan besar akan terjadi mengingat 29 dari 54 anggota Kongres saat ini adalah pendukung kemerdekaan Kaledonia Baru.
Apakah suara ‘Ya’ bisa menang dalam dua tahun lagi? Hal ini sulit untuk diproyeksikan.
Populasi hanya satu faktor, tetapi ada faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan seiring waktu. Jika persyaratan untuk pendaftaran pemilih referendum tetap sama, maka demografi mungkin akan menguntungkan pihak pro-kemerdekaan. Jika daftar pemilih referendum diubah untuk memasukkan semua warga negara Kaledonia Baru, makanya hasilnya tidak pasti karena ada semakin banyak orang yang lahir di wilayah tersebut yang ditambahkan secara bertahap ke daftar pemilih secara umum. Dan jika ini terjadi, demografinya juga lebih menguntungkan bagi orang Kanak: ada lebih banyak anak-anak muda Kanak daripada keturunan Eropa yang memilih untuk pertama kalinya. Tetapi bahkan jika populasi Kanak meningkat, populasi keseluruhan non-Kanak akan tetap menjadi mayoritas di wilayah tersebut.
Intinya adalah, apapun hasil rangkaian referendum ini, masalah yang sama akan tetap ada. Separatis akan tetap pro-kemerdekaan Kaledonia Baru sementara loyalis akan tetap ingin menjadi bagian Prancis. Satu-satunya cara untuk maju adalah melalui dialog, dan pembicaraan ini harus dimulai dari sekarang. (The Interpreter oleh Lowy Institute)
Alexandre Dayant adalah seorang peneliti di Lowy Institute.
Editor: Kristianto Galuwo
0 comments:
Post a Comment