Positivisme dalam Sejarah Perkembangan Filsafat

Oleh: AnneAhira.com Content Team

Abad pertengahan dalam sejarah filsafat dianggap sebagai masa ketika filsafat mengalami kemunduran. Ini dikarenakan filsafat lebih menjadi sekadar bidang yang tunduk kepada agama (gereja). Kondisi ini memang tidak dapat dielakkan karena kekuatan gereja dan negara sangat besar, sehingga filsafat pun harus mengabdi kepada keduanya.

Karya-kaya filsuf abad pertengahan, seperti yang ditulis Agustinus maupun Thomas Aquinas lebih banyak berbicara tentang agama dan masalah keimanan. Summa Contra Gentile, sebuah karya yang ditulis Aquinas adalah bukti nyata kekuasaan gereja terhadap orang-orang yang disebut kafir begitu kuat. Dalam karya tersebut Aquinas membela keyakinan gereja dan melawan orang-orang atheis sebagai musuh keimanan.

Dalam sejarah perkembangan filsafat, Galileo Galilei pernah dihukum dan dipaksa bertaubat di hadapan gereja karena mendukung konsep Copernicus tentang teori pusat alam semesta. Copernicus percaya bahwa pusat alam semesta adalah matahari, bukan bumi (heilosentris).

Namun, karena takut akan kecaman gereja yang memiliki keyakinan berbeda, dia urung menerbitkan pemikiran-pemikirannya. Copernicus, Kepler, Galileo, maupun Newton merupakan tokoh-tokoh sebagai tonggak ilmu pengetahuan. Di samping itu, muncul pula nama Francis Bacon (1561-1626) sebagai peletak dasar induktivisme.

Menurut Bacon, kebenaran yang sahih adalah kebenaran yang bebas dari asumsi-asumsi kosong, caranya dengan melakukan verifikasi. Asumsi-asumsi kosong ini tak lain adalah sikap orang-orang yang pada saat itu masih mempercayai mitos, begitu pula keyakinan gereja yang tidak terverifikasi.

Di sisi lain muncul pula Rene Descates (1956-1650) seorang filsuf sekaligus matematikawan yang mendorong bahwa manusia itu harus mampu berpikir tanpa dihalangi oleh ketakuatan atas mitos-mitos.

Pernyataannya yang mahsyur; “cogito ergo sum” menandai bangkitnya peranan manusia dalam kehidupan (berupa ilmu pengetahuan), juga semakin melemahnya pengaruh gereja yang didasari oleh teologi.

Semakin lama ilmu pengetahuan semakin berkembang. Kelompok yang memiliki pengaruh besar di abad modern adalah Lingkaran Wina yang lebih sering disebut kelompok Positivisme Logis.

Berangkat dari pandangan Bacon, mereka membangun pondasi ilmu pengetahuan serta menolak pernyataan-pernyataan yang menurut mereka omong kosong. Mereka menyatakan sikap bahwa ilmu pengetahuan harus memegang prinsip-prinsip jika masyarakat ingin maju.

Prinsip itu di antarannya sebagai berikut.
Menolak pembedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini tidak ada perlakuan yang berbeda baik terhadap ilmu pengetahuan alam maupun ilmu sosial. Semuanya harus dapat diverifikasi dan diukur secara matematis;
menganggap pernyataan yang tidak dapat diverifikasi, seperti etika, estetika, dan metafisika, sebagai pernyataan yang tidak bermakna atau nonsense;
berusaha mempersatukan semua ilmu pengetahuan ke dalam satu bahasa ilmiah universal;
memandang tugas filsafat hanya sebagai analisis kata-kata atau pernyataan.

Positivisme dianggap sebagai tonggak kemajuan sains di dunia ini. Sebagai aliran filsafat, mereka mendasarkan diri pada pengetahuan empiris (pengetahauan yang diangkat dari pengalaman nyata dan dapat diuji kebenarannya).

Ilmu pengetahuan kemudian diarahkan untuk membangun peradaban manusia dengan cara penguasaan terhadap alam semesta. Teknologi-teknologi canggih diciptakan, penelitian-penelitian besar dilakukan, dan omong kosong yang “tak berguna” –seperti agama– mereka jauhkan.

Salah satu tokoh terakhir dari kelompok positivisme adalah Karl R. Popper. Dialah yang memodifikasi metode induktif Bacon, lalu menggantinya dengan metode baru, yakni falsifikasi.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang dibanggakan kelompok Positivisme di sisi lain menimbulkan malapetaka. Perusakan lingkungan karena ekspolitasi berlebihan demi ambisi kapitalisme, perang dunia yang mengerikan, serta tunduknya manusia pada rasionalitas teknologis banyak menuai kritik.

Teknologi yang pada awalnya hanya sarana untuk kehidupan manusia, kini menjadi tujuan itu sendiri. Manusia diperbudak oleh kemajuan yang mereka buat. Senjata dan amunisi mendorong keinginan untuk berperang, televisi dan iklan menimbulkan wabah mimesis (peniruan), sementara ilmu pengetahuan tetap tinggal di menara gading.

Kelompok yang sangat keras melawan Positivisme adalah Mazhab Frankfurt. Mereka ingin membongkar kekuasaan Positivisme dalam kehidupan manusia, serta ingin mengembalikan manusia pada kondisi yang emansipatoris.

Tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt di antaranya; Max Horkheimer, Felix Weil, Frederic Polloc, Theodore Adorno, Harbert Marcuse, Eric Form, juga Jurgen Habermas.

, , , ,

Share on Google Plus

About SPMNews

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment